Selasa, 09 Juni 2015

{fiksi cerpen) MENJENGUK IBU KE RUMAH TUHAN





Dimanakah rumah Tuhan? Rumah Tuhan ada  di balik semak belukar. Ah, tidak. Rumah Tuhan ada di atas air. Mengapa dapat tergenang? Ah, bukan. Rumah Tuhan ada diantara rerimbunan pohon bambu yang menjuntai. 
            “Gentingnya berwarna merah. Kemarin aku ke sana,” kata Salma meyakinkan.  “Banyak sekali sungai berwarna-warni. Aku sangat suka pantainya. Luas sekali.  Kelinci-kelinci  berlari-lari di atas air...  Rumah Tuhan itu indah sekali ya, Yah….” ungkapnya meminta dukungan.
Ayahnya menghela nafas panjang. Tangannya sibuk bermain di meja kerja menuntaskan setiap laporan, “Kau terlalu banyak mengkhayal, Salma.”
          “Tidak, Yah! Salma benar-benar ke sana! Setiap kali ke rumah Tuhan, Salma selalu dijahitkan pakaian baru yang serba putih dan wangi. Kapan Ayah ke sana bersama Ibu?”
            “Ibumu sudah meninggal. Apakah perlu Ayah mengatakan ini berulang-ulang?” 
Anak perempuan 4 tahunan itu terdiam mengerut.  “Tapi, Ibu suka datang ke rumah kalau Ayah sedang di kantor. Ibu masih suka menemani Salma, Ayah…”  lidahnya membingkai belas iba. Ayahnya tak menjawab. Kesal dan capek rasanya menerangkan yang itu-itu juga. Kadang tahu, kadang minta diulangi lagi.
            “Maaf Salma, Ayah tidak punya waktu…” Salma mematung. Kakinya melemas menuju kamar. Malam yang sepi menemani tahun-tahun terakhir ini. Ketika itu, saat usianya baru 3 tahunan, ia hanya dapat mengingat selintas-lintas. Ia tahu kalau ia pernah mempunyai seorang ibu. Tetapi ia paham betul, ibunya bermain sembunyi-sembunyian di dalam tanah. Arak-arakan orang yang menunduk sedih berbanding terbalik dengan senyumannya yang polos.
            “Ibu, mau kemana?” begitu tanya Salma dalam gendongan ayahnya ke keranda yang diusung. Waktu itu, ia tidak memiliki dan merasa apapun. Tetapi lambat laun, sejak ia masuk Taman kanak-Kanak, ia merasakan kesunyian yang kadang menyergap diam-diam.
            “Ibu  kamu yang mana, Ma?”
            “Aku kok nggak pernah melihat ibumu, Ma?”
            “Eh, denger-denger, kamu sudah nggak punya ibu, ya?”
            “Kok kamu suka sendirian sih, Ma?”
Salma tak pernah marah. Dalam senyum, ia menjawab,
            “Ibuku sudah pulang,  ke rumah Tuhan…” Rumah Tuhan, dimanakah itu?
♥ ♥ ♥

            “Mbah Uti…. Mbah Uti! Ibu datang! Tadi Ibu datang lagi!” Mbah Uti sang nenek trenyuh.
            “Mbah Uti tidak percaya? Benar, tadi Ibu datang. Ibu mengajarkan Salma membuat boneka dari karet gelang.“ Tangan mungil itu melingkarkan 2 karet gelang di jemari dan menggerak-gerakkannya. “Ini boneka tangan, Mbah!” katanya riang. Mata perempuan tua itu berubah sebening intan. Hatinya terobek teriris menyimak karet-karet gelang itu yang menari sekehendak hati di atas tangan mungil itu.
 “Ibumu yang mengajarimu, Nak?” Salma mengangguk. Dipeluknya rapat-rapat. Berdua mereka memandang rumah kecil di seberang jalan. Penimbun kepedihan. Tentang pernikahan yang diceraikan Tuhan, pintu yang selalu terkunci jika penghuninya pergi, dan kesendirian seorang anak kecil.
“Salma, mengapa kau selalu betah di rumah sendirian sepulang sekolah? Di sana tidak ada siapa-siapa. Kalau pulang sekolah, tinggallah di sini sampai Bapakmu pulang.  Sekalian nemenin adikmu. Mbah Uti takut ada apa-apa…”
Salma tertawa. “Ah, Mbah Uti penakut! Di rumah, Salma bisa nonton TV, belajar sendiri, nyanyi nari sendiri… Ntar kalau Salma pengen minum susu, kan ke Mbah Uti juga.” Ia mencium kening neneknya lalu berlari kecil menyeberangi  jalan. Tangannya yang mungil melambai sebelum menutup pintu.
Begitu, setiap hari. Salma lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.  Sendirian. Ia hanya menyeberangi jalan ke rumah neneknya untuk makan, minum susu, mandi sore, dan menunggu sang Ayah datang. Mereka akan pulang bersama, bahkan hingga malam, jam berapa pun. Tetapi kesendirian Salma seperti tiada membekas. Salma kukuh bercerita, ia selalu ditemani ibunya.
Malam itu saat Salma terbangun mendengar deru motor Ayahnya, ia masih sempat mendengar Mbah Uti berbicara, 
“Salma, anakmu itu….  Dulu dia tidak pernah bercerita apapun tentang ibunya, sekarang hampir setiap hari. Ibu kadang merasa takut dan ngeri. Apa jangan-jangan di rumahmu itu…”
“Bu, istri Nanda sudah meninggal, 8 jam setelah melahirkan Fariz. Nanda tidak melihat hal yang aneh-aneh. Salma memang suka berkhayal. Khayalannya kadang menyebalkan. Nanda bukan merasa takut, malah memancing emosi saja,” kilah Nanda menahan geram. Sang Ibu menasehati, “Salma itu anak kandungmu, jangan perlakukan dia seperti musuh besar…”
Sejenak obrolan mereka terhenti saat langkah kecil Salma mendekati sang Ayah dan meminta untuk menggendongnya, “Ayo, Ayah… pulang. Kita tidur di rumah.”
Jam menunjukkan pukul 22.00.  Selama dua tahun lebih, seperti itu pula cara Salma menanti Ayahnya. Bertemu, menyeberangi jalan, dan menutup pintu dengan lambaian tangan kepada neneknya.

Siang itu, seusai sekolah, Salma tidak segera pulang ke rumah Mbah Uti. Anak perempuan itu bermain bersama teman-temannya. Sebuah tempat yang sejuk dan rindang pun diburu. Tapi teman-temannya merasa takut.
“Nah, di sini rumah Tuhan. Di sini rumah Ibu Salma..” katanya bangga. Seonggok tanah yang masih menggunduk dan belum merata juga, ditunjuk. Sebuah nisan kayu bertuliskan nama ”Adinda Batari” terpampang masih jelas. Anak-anak pucat pasi. Mereka gidik. “Setiap hari Salma suka kemari. Mengobrol, bercerita, yah… pokoknya Salma punya ibu, kok…”
Teman-teman Salma terdiam. Sebagian mata mereka memerah. Anak-anak itu saling berpandangan. Mendadak, mereka berhamburan. Teriakannya pekak, “Ibunya Salma sudah mati… sudah mati.. sudah mati!!!!” Pontang panting mereka berlari, berseruduk, jatuh-jatuhan dan tangis-tangisan.
Salma berdiam diri. Sekarang ini, hanya matanya saja yang membasah. Tangannya memeluk erat tas sekolah. Arah kepalanya dipalingkan ke pusara.
“Ibu…. Ibu lagi apa?” ia membelai-belai tanah dengan rasa bahagia.
Cerita tentang Salma yang ternyata selama ini suka sendirian ke kuburan ibunya menjadi pembicaraan para warga. Para Ibu khawatir anak-anak mereka kerasukan setan. Salma pun dikucilkan, dinasehati tak henti, dialihperhatiankan, dan kalau perlu.. dijauhi dalam pergaulan. Tetapi bukan Salma kalau tidak mempunyai akal panjang. Seluruh perlakuan tak menyenangkan hampir tak berpengaruh dalam jiwa, kecuali kalau sudah berhadapan dengan amarah Ayah.
“Jadi benar kalau selama ini kau suka sendirian ke kuburan setelah pulang sekolah?! Lalu kau bawa cerita-cerita bohong kalau almarhumah Ibumu selalu datang setiap hari ke rumah, mengajak bermain, mengajarkan ini itu?!” setengah menghardik Ayahnya bertanya.  Salma mengangguk.
“Salma!!!  Ayah tidak suka kamu berulah seperti ini!!!” teriak Ayahnya melepas kesabaran. Salma menunduk. “Tetapi Yah… memang benar Salma suka bertemu Ibu. Ibu tidak pernah meninggalkan Salma. Salma tidak berbohong…”
“Kamu bohong!” sebuah lecutan sapu mendarat di pantat. Salma meringis. Setengah berlari ia ke kamar.” Ibu… Ibu…”
“Ibumu sudah meninggal! Dia tidak bisa hidup lagi!” Malam itu, Ayahnya sengaja menjadikan Salma gadis bisu.

Esok harinya, Salma meminta izin kepada nenek. ”Salma mau menjenguk Ibu…” suaranya bergetar. Kali ini, perempuan baya itu pun tidak kuasa menyembunyikan ketidaksabaran, “Salma, Ibumu sudah meninggal! Ibumu sudah wafat! Berapa kali Mbah Uti dan Ayahmu harus menerangkan ini semua kepadamu? Sadarlah, Nak!”
            Salma terhenyak, “Tapi Mbah, hari ini Salma sudah berjanji akan menjenguk Ibu ke rumah Tuhan.”
            “Rumah Tuhan yang mana?!  Tuhan tidak pernah mempunyai rumah! Dia tidak butuh segala sesuatu yang manusia butuhkan. Dia sudah Sangat Sempurna. Janganlah Salma membuat sedih kami semua dengan  khayalan-khayalanmu!”.
Salma pucat pasi.
            Ia tak mungkin lagi dapat meyakinkan siapapun jika sang Ibu kerap bermain umpet-umpetan di balik pintu lemari, mendatanginya saat sendirian di rumah, mengajaknya bermain masak-masakan…. Semuanya terjadi di saat semua orang tidak tahu. Salma putus asa.
            Di beberapa hari terakhir, Salma pendiam. Tak ada semangat di hadapan Ayah dan neneknya. Di hari-hari itu pula, para tetangga kian kerap menceritakan kebiasan aneh Salma sepulang sekolah. Mengodok-ngodok tanah kuburan, bernyanyi lagu baru, mengitari kuburan dengan baju barunya, atau sekadar tertawa mengisahkan kejadian lucu di sekolah. Makam ibunya telah menjadi rumah keduanya. Di luar bertingkah, di rumah melemah.
            Nasehat sekaligus murka keluarga hanya mempan di depan. Dikuntit sepulang sekolah, Salma malah kian tak berdaya. Pintu rumah pun selalu dikunci untuknya sekarang.
            Tetapi pada hari itu, saat kepercayaan sedikit diberikan, Salma belum pulang. Menjelang sore tak ada tanda. Magrib mengundang kecemasan, dan malam menyuguhkan ketakutan mencekam. Salma tak pulang. “Cari Salma!” perintah Mbah Uti dengan bulu kuduk merinding. Puluhan orang berpencar. Mencari ke para tetangga, lapangan, hingga kuburan. Tak ada jejak. Salma tak banyak meninggalkan sandi. Larut malam menjelang hanya senandung  lail merobek kesedihan. Penduduk bersusah payah. Tetapi anak kecil itu tetap tak pernah ditemukan. Di atas sebuah makam yang tanahnya membeku dingin, hanya ada gumpalan tangan mungil yang membekas, merogoh-rogoh. Ke selokan, tak ada.  Ke sepenjuru wilayah, tak memberi harap.  Salma menghilang.

Beberapa kali laporan ke pihak keamanan serasa percuma. Semakin orang rajin mencari Salma, semakin hilang ditelan bumi. Hingga gelombang keputusasaan merangsek meradang di setiap orang, Salma tetap setia untuk tak pernah muncul. Dia tak pernah pulang. Salma seperti sengaja pergi dan tak memberi kabar, kecuali kabar mengenaskan pada  beberapa hari yang menjadi puncak hari kepedihan. Salma ditemukan membujur kaku, mati tenggelam dan terseret di daerah sungai, menjauh dari wilayah pemakaman. Terperosok, terarus-arus….

Tinggallah sang Ayah yang meratap-ratap tak berkesudahan  di daun pintu mengharap puterinya kembali. Hidup sendiri  di tengah malam sepi. Terngianglah kini cerita-cerita tentang kelinci yang dapat berlarian di atas samudera. Bintang-bintang yang dapat dipetik, sungai-sungai yang berwarna-warni dan dapat diteguk kapan saja, serta boneka-boneka yang dapat berbicara seperti layaknya manusia, tak pernah mungkin dapat dilupakan.
Orang-orang akan menitikkan air mata. Selalu begitu jika mendengar kisah Salma yang dalam diam, senantiasa meratapi kematian ibunya. Ia membawa kisah-kisah dari dunia ibunya. Dulu, tangannya yang mungil tak pernah lupa merontokkan kembang-kembang mawar sekadar untuk ditaburkan. Air matanya pun kerap bercampur dengan tanah makam.
            Anehnya, sekarang setiap orang selalu merindukan ocehan Salma, anak perempuan yang kehilangan Ibunya dalam sebuah tragedi. Orang-orang mulai tidak memedulikan apakah dulu ia sedang berkhayal atau memang demikianlah sesungguhnya.
             Di suatu pagi yang cerah, seorang ayah berdandan rapi sekali. Tubuhnya wangi. Ibunya yang merasa aneh, bertanya sebelum dipamiti.  “Nanda, kau rapi sekali. Tidak mungkin kau pergi kerja dengan baju seperti ini. Mau kemana, Nak?”. Nanda tersenyum. Matanya tawar, senyumnya pias, pelupuknya menggenang,     
              “ Menyusul Salma, Bu. Menjenguk Dinda... ke rumah Tuhan …”    

                                                ♥ ♥ ♥ ♥ ♥

Senin, 08 Juni 2015

HARAPAN ITU BERNAMA MEDIASI






Meskipun Mahkamah Agung sudah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan tapi sepertinya Mahkamah Agung masih harus bekerja ekstra keras untuk mensosialisasikan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pegadilan sebagai cara yang paling diminati oleh masyarakat luas.

Pada acara dengar pendapat baru-baru ini yang melibatkan pihak Mahkamah Agung dengan lembaga-lembaga mediasi Nasional yang terakreditasi MA, organisasi pemerintah dan non pemerintah yang dinilai memiliki peran berarti bagi sosialisasi mediasi, dan para profesional peminat mediasi dapat dicermati sebuah fenomena bahwa pilihan masyarakat pada mediasi masih jauh dari memuaskan. Di Indonesia tingkat keberhasilan masih di bawah 10 persen, sementara di Australia dan Jepang bisa di atas 50 persen. Walau belum dapat dipastikan dalam data yang valid namun fenomena menunjukkan bahwa para pihak yang sedang bersengketa dan memilih penyelesaian sengketanya tersebut tidak melalui litigasi cenderung  memlih Singapura sebagai basis utama bermediasi walau tempat persengketaan atau hal yang akan didamaikan berada di wilayah Indonesia. Ini sangat memprihatinkan.

Ada tiga kekeliruan terbesar mengapa mediasi belum menjadi pilihan utama di Indonesia yaitu pertama: anggapan bahwa sangat banyak hakim yang malas untuk melakukan mediasi apalagi jika kasusnya mendekati vonis atau pembacaan putusan;  kedua adalah:  advokat yang terlanjur dicap negatif sebagai penghalang utama proses mediasi karena mereka lebih memilih memenangkan klien sebagai wujud  tanggung jawab kepercayaan dan kuasa yang diberikan kepadanya, dan ketiga: pandangan bahwa Indonesia tidak memiliki mediator independen yang dapat diandalkan.

Di luar itu semua, ternyata masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang jasa mediator  independen dan pilihan mediasi. Padahal sebagai bentuk penyelesaian sengketa dengan cara-cara damai, mediasi sesungguhnya sangat dekat dengan budaya musyawarah untuk mufakat {sila keempat Pancasila}. Mediasi sudah seharusnya mendapat tempat yang lebih baik dan memberikan harapan sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara-cara damai sesuai fungsinya.

Menyimak perilaku masyarakat yang sedikit-sedikit ke pengadilan,  dan memiliki persepsi bahwa satu-satunya penyelesaian akhir sengketa adalah putusan hakim terutama melalui jalur litigasi, maka seyogyanya mediasi harus diproyeksikan sebagai cara menyelesaikan sengketa yang lebih menjanjikan.  Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 yang sedang dalam proses direvisi terutama di bagian prosedur mediasi di Pengadilan dan instrumen pendukungnya sebenarnya telah meletakkan dasar penerapan mediasi. Namun sekali lagi, hasilnya masih jauh dari harapan walau tujuh tahun sudah berlalu. Tingginya perkara perdata (maupun pidana)  yang diselesaikan melalui litigasi masih mendominasi dibandingkan melalui jalur mediasi. Padahal sangat banyak kasus perdata yang dapat diselesaikan dengan cara mediasi. Bahkan dalam kondisi tertentu, mediasi penal atau mediasi kasus kepidanaan sudah mulai diwacanakan dapat menjadi pilihan hukum yang dibenarkan.

Mempromosikan Peraturan.
Hal yang menjadi sorotan dari kurang efektifnya mediasi adalah minimnya upaya-upaya mempromosikan peraturan yuridis tentang mediasi  sebagai produk hukum yang dikomunikasikan sedemikian rupa dengan cara-cara menarik agar masyarakat merasa akrab dan mempunyai rasa memiliki yang patut terhadap suatu ketentuan formal. Mediasi hanya disinggung dalam banyak UU sebagai alternative dispute resolution (ADR), dan tidak ditempatkan sebagai cara utama dalam menyelesaikan suatu perkara. Maka timbul pertanyaan kritis, mengapa Mediasi tidak menjadi UU yang berdiri sendiri, atau setidaknya UU Arbitrase-lah yang direvisi dengan memasukkan pasal-pasal terfokus tentang mediasi yang untuk dianggap memadai untuk saat ini. Memang bukan wewenang Mahkamah Agung untuk membuat Undang-Undang tetapi sudah menjadi tanggung jawab semua pihak untuk menyosialisasikan mediasi dengan lebih aktif. Harapan keberhasilan bermediasi itu justru ada di kelompok yang terbiasa melakukan mediasi yaitu mediator independen. Yaitu tindakan bermediasi yang didasarkan pada  kesadaran dan kerelaan para pihak agar menyelesaikan perselisihan tanpa jalur litigasi, dan diwasiti oleh pihak ketiga yang netral.

Walau sering dikatakan bahwa mediasi adalah harapan baru penuh keniscayaan tetapi bukan berarti tidak memiliki hal-hal yang perlu dibenahi, antara lain kewajiban mengenai proses pencatatan ke pengadilan: apakah hasil mediasi itu mutlak mengikat,  cukup pengesahan langsung  ke Pengadilan,  mengajukan permohonan, atau pengajuan gugatan pura-pura, serta siapa dan bagaimana persyaratan yang pantas menjadi mediator, sepertinya masih harus diperjelas karena dapat memicu ketidakpastian.

Mencermati berbagai konflik yang  terjadi dalam kehidupan berbangsa yang majemuk ini seperti konflik partai politik, konflik sesama pejabat/lembaga negara, pencegahan kasus SARA,  dunia infotainment, persaingan bisnis dan Informasi Teknologi,  dan permasalahan lainnya yang sangat mungkin berkembang maka harapan menggunakan jasa meditor dan jalur mediasi adalah sangat direkomendasikan untuk dibudayakan. Benar kiranya jika Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memang harus direvisi dan diperluas. Siap tidak siap, proses mengedukasi publik agar lebih mendorong mediasi sebagai pilihan populer harus segera dilakukan. Sebab jika tidak, mediasi akan selalu berjalan di tempat tanpa indikasi kemajuan yang berarti, dan hal ini akan merugikan banyak pihak. Maka biarkanlah harapan bernama mediasi itu mengemuka dan semua pihak berperan aktif untuk memolesnya agar lebih sempurna.


===ooo===

AGUSTRIJANTO:    


Advertising Digital: BENTUK atau SIKAP BARU dalam Advertising

Tidak salah jika May Lim dan Jim Aitchison dalam Clueless in Advertising[1] menyebutkan bahwa advertising adalah industri yang bergerak cepat bahkan seringkali bergerak lebih cepat daripada yang dibayangkan. Struktur iklan tradisional yang mengedepankan departeman-departeman formal ditantang oleh biro atau bentuk iklan baru tanpa dinding, yang bersifat independen, bebas, langsung, kaya kreativitas bahkan kadang-kadang memperdebatkan etika. Karena periklanan adalah sebuah industri yang aktif maka pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana periklanan dapat tetap hidup dan mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman?

Ada banyak faktor yang menyebabkan periklanan tetap eksis sebagai  alat untuk menjalankan rangkaian kampanye dan promosi hingga saat ini. Salah satunya adalah kreativitas dalam memilah media sebagai sarana beriklan.  Jay P.Granat, Phd[2] seorang praktisi komunikasi periklanan menegaskan bahwa sesungguhnya media berfungsi sebagai iklan juga. Media berguna seperti psikologi sales yang secara halus menyampaikan pesan-pesan iklan kepada setiap target sasarnya, sehingga pesan-pesan iklan itu membuat penerimanya menjadi berpikir, berprilaku, dan merasa menjadi bagian dari dalam media (iklan) tersebut. Media iklan adalah bagian dari teknik mempersuasi antara iklan dengan sasarannya. Dengan demikian jika media dikaitkan dengan iklan maka dapat diterima jika perkembangan iklan dan jenis media sebagai sarana penempatan iklan sama-sama mempunyai kesamaan tujuan yaitu menyampaikan pesan komunikasi dari iklan yang dimaksud.

IKLAN dan MEDIA
Kitab Etika Pariwara Indonesia[3] mendefinisikan Iklan sebagai pesan komunikasi pemasaran atau komunikasi publik tentang sesuatu produk yang disampaikan melalui suatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat. Sementara media adalah sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan periklanan kepada konsumen atau khalayak sasaran. Definisi ini menunjukkan bahwa kaitan erat antara iklan dengan media adalah terletak pada pesan komunikasi (iklan) yang jelas memerlukan media (sebagai sarana penyampaian komunikasinya). Dalam konsep periklanan klasik, media disekat dalam Above The Line (ATL)  dan Below The Line (BTL). Frank Jefkins[4] memberikan batasan media lini atas sebagai jenis iklan yang menggunakan media, baik itu media cetak seperti koran, majalah, maupun media elektronik seperti televisi dan radio, media bioskop, atau media luar ruangan berbayar (poster). Pemakaian iklan media lini atas mengharuskan adanya komisi, serta biro iklan yang mengelolanya harus mendapatkan pengakuan dari lembaga asosiasi pemilik media. Sementara below the line atau media lini bawah adalah iklan-iklan yang tidak menggunakan pembayaran komisi misalnya iklan (pengumuman) dalam pameran/eksibisi, lembaran iklan yang dikirim ke rumah-rumah melalui pos, literatur penjualan, serta iklan peragaan di tempat-tempat penjualan.

Pembagian iklan berdasarkan media lini atas dan media lini bawah sering digunakan hingga saat ini karena dianggap masih relevan walaupun pada kenyataannya tetap saja ada bagian-bagian dari kedua media ini yang dipertanyakan secara matematis: apakah semua iklan harus dibagi secara tegas yang mana murni media lini atas, dan yang mana murni media lini bawah?, karena iklan sebagai produk kreatif memang masuk akal jika melakukan terobosan dan inovasi penting sehingga batas kedua media tersebut layak dikaji ulang dengan lebih seksama.

Hubungan iklan dan media dapat ditelaah dari berbagai aspek. Misalnya komisi. Apakah komisi yang terlanjur dimaknai umum sebagai bayaran atau nilai finansial yang disepakati dalam perjanjian media harus selalu berbentuk uang?, atau  dapatkah dinilai dengan hal lain namun bernilai setara seperti sejumlah uang misalnya barter order, pengembangan kerjasama, even, atau iklan bersama? Tentunya sepanjang memberikan keuntungan fisik maupun non fisik, maka setiap usaha kampanye dan promosi melalui iklan harus dapat menerima dan membuka diri terhadap berbagai kemungkinan dan peluang ini.

Hubungan iklan dan media juga sampai di titik yang kerap mengundang multitafsir yaitu tentang media lama dan media baru. BTL sering disebut sebagai media lama, sementara ATL dikatakan sebagai media baru. Persoalannya adalah, apakah dengan demikian masing-masing media tidak dapat mengembangkan pengertian yang lebih baru dan segar lagi? Kehadiran media digital dan seabrek konten di berbagai media sosial menyisakan pertanyaan: apakah teknologi turut mempengaruhi perkembangan iklan, khususnya teknologi digital?

Untuk menjawab hal ini dikenal istilah konvergensi media yaitu penggabungan atau pengintegrasian media-media yang ada untuk digunakan dan diarahkan kedalam satu titik tujuan. Konvergensi media biasanya merujuk pada perkembangan teknologi komunikasi digital yang dimungkinkan dengan adanya konvergensi jaringan. Sementara konvergensi jaringan adalah ko-eksistensi efisien telepon, video dan komunikasi data dalam satu jaringan. Penggunaan beberapa mode komunikasi dalam jaringan tunggal menawarkan kenyamanan dan fleksibilitas bukan tidak mungkin dengan prasarana yang terpisah[5].

Maka advertising digital adalah bentuk advertising yang memanfaatkan teknologi komunikasi digital sehingga layak disebut sebagai advertising dengan mendayagunakan maksimal faedah media baru.  Keuntungan menggunakan media baru berbentuk digital ini selain mempercepat penyampaian pesan komunikasi juga menjadi pilihan bagi para klien di era digital ini.
Laporan dari Wichita Business Journal  pada 2 Agustus 2015[6] menyebutkan bahwa banyak agensi-agensi advertising dewasa ini yang sudah membiasakan diri menggunakan teknologi digital untuk melayani jasa advertising mereka kepada para klien:
.... in conjunction with this week’s list of the Wichita area’s biggest advertising agencies, we asked the 23 firms we surveyed whether their clients prefer digital advertising or traditional platforms, such as print or static billboards. Of the 19 firms that answered, most said they’re seeing increased client interest in digital advertising. Digital advertising presents advertisers opportunities to quickly reach a target audience and update information easily. Digital advertising can also save money, and the return on investment is easier to track and measure.[7]

Dengan demikian dapat diteliti bahwa advertising digital adalah bentuk baru dari perkembangan advertising yang ada sekarang, advertising digital menggunakan media baru dengan tetap mempertimbangkan media lama atau media tradisional sebagai partner dalam mencapai tujuan komunikasi iklan. Wacana yang menarik adalah apakah advertising digital merupakan advertising konvensional, atau advertising kontemporer? Apakah advertising digital adalah advertising yang sebenarnya advertising konvensional juga, cuma media yang digunakan memang media baru. Atau advertising digital adalah advertising kontemporer sebagai kelanjutan dari advertising konvensional karena ia memiliki nilai kebaruan? Jika suatu media disebut media baru maka berapa lama ia memiliki kadaluarsa untuk disebut sebagai media baru (dengan memperhatikan contoh media yang dulu disebut media baru namun sekarang disebut media lama yakni TV dan Radio).
Menentukan kadaluarsa suatu media adalah bersifat relatif dan kondisional. Artinya sepanjang target market memerlukan maka media apapun masih dapat diterima sebagai wahana penyampaian pesan periklanan. Pengecualian mungkin terjadi pada dunia teknologi yang berkembang sangat cepat sehingga apa yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru hari ini, mungkin dianggap sebagai hal yang ketinggalan zaman di lain waktu (hanya dalam beberapa periode yang tidak terlalu lama). Maka media baru dekat hubungannya dengan digital advertising karena sifat media baru adalah multimedia dan interaktif. Karakteristik unik media baru adalah menggabungkan konvergensi, jaringan digital, jangkauan global, interaktivita, many-to-many-communication, memungkinkan penggunanya menjadi produser dan konsumen konten pada saat yang bersamaan. hal ini yang membuat banyak pihak (orang, klien, perusahaan advertising) beralih dari media tradisional ke media baru dengan menggunakan model advertising digital.[8]
BENTUK atau SIKAP BARU

Di satu sisi advertising digital menciptakan bentuk-bentuk baru advertising yang tampak jelas mengalami pembaharuan-pembaharuan secara fisik dan kasat mata, namun di sisi lain menyisakan pertanyaan kreatif: apakah jika sudah menggunakan media baru maka ia pasti memperbaharui dirinya sendiri pula dari aspek kreatif, atau justru tertinggal, atau kreativitasnya sama saja dengan iklan konvensional? Karena melahirkan bentuk baru tidak sama dengan membuat sikap baru. Sikap baru adalah makna kontemporer yang mengambil sikap tegas terhadap hal-hal yang konvensional. Bukan membuang atau membuat percuma, hanya saja menciptakan ketegasan sikap bahwa karya-karya iklan kontemporer bergerak dari ide kreatif yang luar biasa mulai dari ide/konsep kreatif, strategi, hingga eksekusi, termasuk dengan menyertakan faktor teknologi sehingga benar-benar bermakna dan berbeda dibandingkan dengan iklan konvensional. Penulis menyebutnya sebagai ISET (ide-strategi-eksekusi-teknologi) yaitu tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam proses beriklan guna mencapai tujuan komunikasi dari iklan yang dimaksud.

Advertising digital dapat disebut memenuhi persyaratan sebagai bagian dari iklan kontemporer jika ia diciptakan dengan memenuhi tahapan-tahapan kreatif yang utuh, yang hasil akhirnya berbeda dan istimewa dibandingkan dengan advertising konvensional, serta  ditunjang media yang digunakan adalah media baru kategori digital. Namun jika advertising digital hanya menggunakan fasilitas media digital dengan tidak mengindahkan konsep berkreativitas iklan yang out of the box, maka ia tidak lebih dari iklan konvensional yang mencari dan memakai muara baru saja, yang tinggal menunggu waktu secara relatif: sampai kapan media baru tersebut akan disebut bukan media baru lagi (media lama). Advertising digital harus memperjelas diri sebagai sebuah sikap baru dalam menghadapi iklan konvensional. Meminjam istilah dalam buku Clueless in Advertising yaitu menantang formalitas iklan konvensional dengan bentuk baru tanpa dinding pembatas yang kaku,  maka advertising digital adalah bagian darii iklan kontemporer yang memiliki kebebasan berekspresi lebih luas dan eksploratif.

Dengan demikian, perkembangan advertising digital sangat dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusianya yang harus memahami benar peranan kreativitas dan teknologi sebagai partner yang saling menunjang. Inilah sikap baru yang harus dikembangkan terutama bagi insan-insah kreatif periklanan bahwa kemana arah advertising digital akan bergerak maka disanalah prinsip mengedukasi target market berada di tangan orang-orang atau tim yang tepat.
===000===





[1]     Clueless Advertising yang diterbitkan tahun 2005 sering disebut sebagai buku yang mengupas dasar-dasar periklanan secara realistis dimana periklanan sering disebut sebagai usaha kreatif yang harus dipandang dan diperlakukan dengan kreativitas yang dikaji dan dievaluasi terus menerus. Penggunaan kata formal untuk bidang advertising justru dikhawatirkan hanya akan membuat industri ini menjadi tempelen atau bagian dari divisi promosi namun tidak memiliki ruh kreativitas yang memadai.

[2]     Dalam karyanya Persuasive Advertising for Entrepreneurs and Small Business Owners: Iklan sebagai Alat Jitu untuk Menyampaikan Pesan Niaga yang Lebih Efektif,  Jay P. Granat, PhD – seorang praktisi advertising dan pemasaran menekankan pada sifat iklan yang persuasif, dan harus mampu mempersuasi  audiens. Iklan harus selektif memilih dan memilah media yang akan digunakannya. Memperbincangkan media sangat berkaitan erat dengan zaman atau teknologi saat iklan tersebut diciptakan. Perkembangan media sangat berkaitan erat dengan kehidupan terkini dari suatu target market.

[3]     Kitab Etika Pariwara Indonesia (EPI) adalah pedoman prilaku, tata krama dan tata cara dalam menciptakan dan menilai  iklan. Sejatinya kitab EPI menjadi pedoman bagi seluruh insan dan organisasi periklanan dalam mengejewantahkan iklan sesuai tujuan awal penciptaan: jujur, bertanggung jawab, kreatif, edukatif, dan efektif.  Namun pada kenyataannya masih saja ditemukan berbagai persoalan atau kasus yang menimpa iklan justru karena dianggap melanggar etika pariwara. Advertising digital atau periklanan yang menggunakan media digital adalah salah satu contoh iklan yang dikritik kurang memerhatikan aspek etika berpariwara karena penayangannya seringkali tidak mengindahkan rasa nyaman pengguna jaringan digital seperti media sosial.


[4]     Pembagian Media dengan istilah lini atas dan lini bawah sebenarnya bukan definisi yang bersifat statis karena dalam perkembangan periklanan, terutama teknis untuk mencapai sasaran iklan, seringkali digunakan pendekatan bauran dimana batas antara lini atas dan lini bawah menjadi  lebih kondisional.







[5]      Pengertian konvergensi media versi wikipedia ini lebih menekankan pada fenomena yang terjadi di dunia periklanan bahwa aspek digital sudah  menjadi trend bahkan kenyataan dalam  industri advertising. Konvergensi media menjadi tautan media-media yang relevan digunakan untuk keberhasilan suatu promosi.

[6]      Lihat Wichita Business Journal, edisi 2 Agustus 2015 tentang Wichita Ad Agency Responds to Increased Demand Digital Services yang memaparkan advertising digital sebagai cara beriklan yang paling banyak diminati klien karena lebih murah, cepat, dan sesuai dengan tingkat kebutuhan. Dihubungkan dengan pendapat yang menyatakan bahwa advertising mengikuti perkembangan zaman bahkan kadang melampaui apa yang dibayangkan orang (Clueless) maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ternyata teknologi turut mempengaruhi dinamika industri advertising itu sendiri, termasuk dalam memberikan batasan yang mana ATL BTL, media lama, dan media baru.
                                                                                                                            
[7]      Artikel dari  Wichita Business Journal, edisi 2 Agustus 2015 ini menghimpun sejumlah pengalaman dari beberapa agensi periklanan di Amerika yang mengakui bahwa perkembangan digital advertising berkaitan erat dengan pemanfaat teknologi digital dan konvergensi media. Jeremy Luginbill dari Lifeboat Creative, Hanson & Wright LLC, Greteman Group , Tony Blake Design. Sullivan Higdon & Sink Inc., dan Drouhard Ad, menjelaskan bahwa digital advertising sudah menjadi penawaran sekaligus eksekusi bagi banyak order klien dengan keunggulannya masing-masing. Dalam terjemahan bebas, digital advertising dapat dimaksudkan sebagai bagian dari sikap kritis dalam hubungannya dengan klien (services says a digital component is a “critical part” of all its client relationship. It is also seen a significant increase from its entire customer base for digital advertising-Hanson & Wright LLC);  
Digital advertising adalah aktivitas aktif yang menggunakan sosial media (It is helping its aviation clients weave more interactivity into their marketing, which tends to be heavy on industry publications and trade) shows. Clients are deploying more online ads and being more active in social networks - Greteman Group
Walau sudah ada digital advertising tapi tetap saja fungsinya akan lebih efektif jika berharmonisasi dengan media tradisional  (Other agencies say their clients are using more digital advertising but, in general, expect it to be part of a mix that includes traditional media. It is an even mix, but it is just the fact that it never has been an even mix. That’s more and more becoming the norm -Tony Blake Design)
Pada dasarnya digital advertising adalah pilihan klien dan menjadi cakupan marketing strategi ( Its clients are choosing online and social media platforms as part of an overall marketing strategy. Some firms, though, are predominantly digital (Sullivan Higdon & Sink Inc.)
Keunggulan teknologi semakin membuat digital advertising sebagai pilihan berarti dan sempurna (Advances in technology are making digital advertising more appealing. Analytics are getting stronger, and the tools that we have at our disposal are getting more sophisticated - Drouhard)



[8]      Dalam kumpulan tulisan para dosen Komunikasi Universitas Paramadina dalam buku Integrated Marketing Communications – Komunikasi Pemasaran di Indonesia, tulisan karya Ika Karlina Idris  di hal 86 disebutkan bahwa internet memegang peranan sangat penting dalam mendistribusikan informasi. Terlebih internet tergolong murah, mampu menghilangkan jarak, dapat meningkatkan tingkat kecepatan berkomunikasi,  meningkatkan jumlah volume informasi, memberikan banyak peluang saluran untuk informasi lebih banyak, sangat mendukung komunikasi interaktif, kemampuan mengontrol informasi, dan menggabungkan segala bentuk informasi yang semula terpisah. Karakter ini membantu internet menjadi variabel penentu keberhasilan advertising digital sebagai advertising yang sangat bergantung pada pemanfaatan media baru dalam menyampaikan pesan-pesan komunikasinya.